βPermisi, boleh minta waktu untuk wawancara survei?β Kalau kita pernah didatangi petugas survei ke rumah, kalimat semacam itu mungkin kita dengar. Bila kita setuju wawancara, petugas survei biasanya memulai dengan bertanya tentang kondisi rumah tangga, pendidikan, dan pekerjaan. Tapi jika kemudian petugas menanyakan hal sensitif, seperti pengalaman kekerasan, masihkah kita bersedia menjawab? Dalam satu dekade terakhir, Indonesia semakin sering mengumpulkan data kekerasan terhadap anak KTA melalui survei. Ada Survei Kekerasan terhadap Anak SKTA pada 2013, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja SNPHAR 2018, dan SKTA daring Komisi Perlindungan Anak Indonesia 2020. Survei serupa akan ada lagi tahun ini. Meski ada kebutuhan data, survei Kekerasan terhadap Anak KTA memiliki beban etika penelitian yang berat. Oleh karena itu, proses perancangan, pelaksanaan, dan pelaporan survei KTA tidak boleh setengah-setengah. Tuntutan dan beban survei Survei KTA adalah salah satu jenis penelitian yang paling kompleks untuk diselenggarakan, mulai dari perumusan pertanyaan, pengumpulan data, hingga analisis. Peneliti perlu membangun kepercayaan antara pewawancara dengan responden. Kuncinya ada pada etika penelitian. Jika peneliti gagal menjaga etika penelitian, maka responden akan enggan menceritakan pengalamannya atau menolak berpartisipasi. Ini akan menimbulkan salah satu jenis response error kesalahan dalam mengumpulkan jawaban yang khas dalam penelitian tentang kekerasan, yaitu underreporting, atau kejadian yang dilaporkan lebih sedikit daripada kejadian sebenarnya. Jenis error ini akan berdampak pada akurasi data penelitian. Penelitian tentang pengalaman kekerasan juga berisiko mengungkap insiden traumatis, yang mungkin pernah atau masih dialami responden. Akibatnya, responden dapat terpicu merasakan emosi negatif, seperti cemas, takut, sedih, atau marah. Risiko jadi semakin besar jika pelaku kekerasan adalah orang terdekat. Data memang penting dalam penyusunan kebijakan. Namun, dalam penanganan KTA, data survei seharusnya menjadi bagian dari sistem surveilans yang lebih besar, bersama dengan data laporan kasus. Survei KTA dapat diulang jika survei tersebut merupakan satu-satunya sumber data kekerasan. Perlu pertimbangan juga berapa rentang waktu ideal antara survei yang satu dengan yang lainnya. Karena tuntutan dan beban tersebut, sebelum memutuskan untuk melakukan survei KTA, peneliti perlu menjawab empat poin berikut. 1. Apakah data sekunder sudah tersedia dan cukup untuk penelitian tanpa harus mengumpulkan data baru? Dengan banyaknya survei di Indonesia, ada kemungkinan satu rumah tangga berkali-kali diwawancarai. Kondisi ini bisa menyebabkan research fatigue, atau kelelahan akibat terlalu sering disurvei. Akibatnya, responden bisa menolak atau enggan berpartisipasi, yang berpengaruh terhadap kualitas data. Sebelum mengumpulkan data survei, peneliti perlu mengecek apakah tersedia data sekunder, atau data yang sudah dikumpulkan, yang bisa menjadi sumber informasi untuk menjawab pertanyaan penelitian. Tujuan penelitian mungkin saja bisa terjawab oleh data layanan atau data dari survei sebelumnya. Tren kekerasan, baik nasional maupun per wilayah, pada dasarnya telah digambarkan dengan data dari laporan kekerasan seperti SIMFONI PPA atau data layanan swasta. Meski data laporan kekerasan berasal dari layanan yang jumlahnya masih terbatas, namun datanya tersedia secara real-time dan dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja layanan. Read more Indonesia darurat data kekerasan terhadap anak 2. Apakah riset kekerasan terhadap anak akan menimbulkan risiko yang lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang anak dapatkan? Ada beberapa etika yang harus dijunjung tinggi saat melakukan penelitian dengan anak maupun orang dewasa. Salah satunya, kepentingan dan manfaat dari survei harus lebih besar dari risiko yang muncul. Survei KTA memiliki risiko bahaya yang cukup tinggi, baik untuk responden atau pewawancara. Misalnya, jika responden masih mengalami kekerasan dan pelakunya tinggal serumah. Saat merancang desain riset KTA, peneliti perlu jujur dan kritis mengidentifikasi potensi risiko. Niat baik saja tidak cukup mengurangi dampak buruk terhadap responden atau peneliti.. Pertimbangan risiko pertama adalah usia responden. Risiko untuk anak tentu berbeda dengan orang dewasa. Implikasinya, mitigasi risiko juga akan berbeda. Keterlibatan dalam riset KTA dapat memicu ketidaknyamanan, stres, atau reaksi trauma, apalagi pada anak yang belum mampu mengelola emosi. Dalam wawancara, petugas survei juga bisa mengalami trauma sekunder yang disebut dengan vicarious trauma, yang timbul dari empati peneliti. Ingat juga bahwa risiko survei mungkin bergantung pada norma yang berlaku di lingkungan tempat tinggal responden. Tim peneliti dapat melakukan konsultasi dengan perwakilan masyarakat di berbagai lokasi survei mengenai konteks lokal. 3. Apakah layanan tersedia untuk merespons kebutuhan anak atau responden selama proses pengumpulan data? Saat pengumpulan data, peneliti mungkin menemukan banyak responden yang butuh layanan rujukan tapi kesulitan mengakses. Jika responden bersedia, peneliti perlu menghubungkan responden dengan layanan. Peneliti juga perlu menyiapkan referensi layanan, seperti fasilitas kesehatan, psikososial, dan/atau hukum. Saat ini, baru 134 kabupaten/kota dari 514 total kabupaten di Indonesia yang punya unit layanan pemerintah untuk merespons kasus kekerasan perempuan dan anak UPTD PPA. Sebagai alternatif, peneliti bisa membentuk tim ad hoc berupa pos aduan di tingkat kelurahan/desa yang khusus bekerja selama survei. Tim ini adalah perwakilan dari masyarakat yang dilatih untuk merespons kasus dan menghubungkan korban ke layanan terdekat, khusus untuk daerah yang jauh dari layanan rujukan. Layanan darurat itu juga dapat menjadi rintisan untuk layanan jangka panjang. Jika layanan, baik yang sudah ada atau ad hoc, tidak tersedia atau tidak berkualitas, maka penulis perlu mempertimbangkan ulang untuk mengumpulkan data di wilayah tersebut. 4. Apakah peneliti sudah menyiapkan rencana analisis dan tindak lanjut dari hasil survei? Peneliti bertanggung jawab mempublikasikan temuan, baik kepada populasi yang diteliti, maupun kepada pembuat kebijakan dan publik secara umum. Ini dimulai dengan menyusun rencana analisis dan rencana pemanfaatan data, dengan mempertimbangkan keragaman konteks sesuai lokasi penelitian. Data kekerasan tidak dapat dilihat sebagai angka saja. Pembuat kebijakan perlu memahami konteks yang melatarbelakangi munculnya kekerasan agar layanan bisa efektif dan berkualitas. Belajar dari pengalaman Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja, data yang kaya tidak akan berguna jika analisis dan publikasinya setengah jalan. Peneliti juga perlu melihat kesesuaian antara data survei dengan sumber data lain yang sudah ada. Data administrasi layanan bisa memberi informasi tentang jumlah kasus yang dilaporkan, cakupan layanan, dan respons layanan terhadap kasus. Data survei dan data administrasi layanan bisa disandingkan untuk analisis yang komprehensif. Peneliti mungkin menemukan kesenjangan hasil antara kedua jenis data, misalnya angka kekerasan jauh lebih tinggi pada survei daripada di data layanan. Temuan seperti ini bisa menjadi evaluasi untuk kedua data. Read more Melindungi anak-anak dan remaja dari kekerasan di media Niat baik tidak cukup Survei nasional didanai APBN. Maka, sudah sepantasnya publik mendapat akses atas data tersebut sebagai bentuk akuntabilitas; terlebih karena subyek penelitiannya adalah masyarakat. Perlu mekanisme agar publik bisa mengakses data seperti survei nasional lainnya, contohnya SUSENAS Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Riskesdas Riset Kesehatan Dasar. Akses terbuka terhadap data survei akan membuka kesempatan bagi para peneliti untuk bersama-sama menganalisis dan memberi masukan pada kebijakan. Seperti halnya publikasi ilmiah, peer review, atau tinjauan oleh sesama peneliti, adalah proses esensial untuk menghasilkan interpretasi data berkualitas. Peneliti dan pembuat kebijakan punya tanggung jawab moral kepada para responden yang telah bersedia berbagi cerita mereka, termasuk risiko trauma yang mereka hadapi. Survei KTA harus mengutamakan kepentingan anak sebagai subjek di atas kepentingan penelitian.Untukalasan inilah islam mempunyai kebijakan dalam menggukan kekerasan terhadap pelaku kriminal dan unsur-unsur anti sosial untuk mempertahankan perdamaian. islam juga memperingatkan pengikutnya untuk melawan jika ada penindasan. Dalam islam, kekerasan hanya boleh digunakan untuk menjaga perdamaian, kebenaran dan keadilan. 3.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Berita terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan lagi rahasia umum, bukan lagi hal baru di Indonesia, tetapi sudah menjadi isu global yang kerap terdengar di media, bahkan sering menjadi pembicaraan di tingkat melihat catatan statistik, Indonesia termasuk negara gawat kekerasan. Betapa tidak, dari tahun-ke tahun memperlihatkan peningkatan kasus kekerasan, terutama pada ibu dan anak, yang dilakukan para pelaku dengan berbagai modus. Ironisnya fenomena ini masih kurang mendapat tanggapan publik. Padahal Indonesia sudah menjadi negara dengan kasus kekerasan yang tinggi di Asia. Ilustrasi BEM U KBM Unila - Universitas Lampung Kasus-kasus kekerasan yang disinyalir banyak terjadi, tapi sedikit yang diketahui. Namun kini kasus kekerasan yang terjadi terus marak dan mengemuka. Saya pikir terdapat dua kemungkinan dengan mengemuka dan maraknya kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Pertama, kasus tersebut memang meningkat secara angka. Kedua, karena adanya keberanian dan kesadaran masyarakat para pelapor yang meningkat untuk melaporkannnya. Ini dikarenakan mudahnya akses pelaporan baik melalui SMS, telepon, email hingga sosial media saat ini. Data Statistik Komnas Perempuan Sepanjang 2015 menerima laporan tentang kekerasan terhadap perempuan sebanyak kasus. Dengan kata lain, setiap hari ada 881 kasus perempuan yang menjadi korban kekerasan. Kekerasan yang paling sering terjadi juga kasus kekerasan seksual. Data Statistik Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI pada 2015, walaupun menunjukkan tindak kekerasan terhadap anak mengalami penurunan, menjadi dari kasus di 2013. Penurunan yang sangat sedikit dan kita harus tetap terus berperang melawan dan menghentikan aksi kejahatan ini. Timbul pertanyaan, kenapa setiap tahun kasus-kasus kekerasan pada ibu dan anak terus berulang, bahkan grafiknya cenderung meningkat? Karena itu patut kita cermati dan sikapi secara runut dan bijaksana, faktor apa saja yang menjadi penyebabnya. Saya pikir faktor penyebabnya seperti yang telah saya singgung di atas, yakni masih kurangnya mendapat tanggapan publik. Publik di sini bisa berarti pemerintah dan masyarakat. Terkait pemerintah, ada semacam keteledoran dari pemerintah yang kurang menyikapi secara tegas setiap peristiwa kekerasan yang terjadi, terutama yang melibatkan anak dan perempuan seperti kejahatan seksual yang terus meningkat setiap tahunnya. Delik kekerasan pada perempuan dan anak masih belum pernah ditanggani dan memenuhi rasa keadilan korban. Disamping pemerintah juga masih kurang mensosialisasikan pencegahan akan kasus-kasus masyarakat, seperti perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin konsumtif, permisif, individualistis dan ingin cepat kaya, serta ditambah dengan gencarnya gerakan jaringan para pelaku human trafficking di Indonesia, membuat ancaman para pelaku tindak kekeradan seperti penjahat kelamin semakin juga peran orang tua dalam keluarga yang menjadi bagian dari masyarakat yang sangat minim dalam melindungi, mendidik dan mengawasi anak-anaknya di dalam pergaulan, baik di lingkungan keluarga dan sekitar tempat tinggal. Bahkan ironisnya, secara internal telah runtuhnya moralitas keluarga yang mendorong terjdinya incest yang menjadikan anak menjadi korban kekerasan, baik dari orang tua dan saudara tiri maupun kandung dan sanak keluarga lainnya yang bermental bejat. Bukan lagi rahasia umum, jika banyak fakta yang menyatakan, pelaku-pelaku kekerasan di tengah masyarakat berasal dari orang-orang terdekat. Dok Ada juga faktor yang disebabkan pendidikan karakter anak di sekolah masih kurang memadai. Sehingga anak-anak sangat mudah terkontaminasi dengan pergaulan bebas dan mudah terbujuk rayu oleh orang-orang yang tidak memperdulikan masa depan anak-anak. Di sisi lainnya ada faktor lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku kekerasan. Hukuman yang diberikan terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Faktor penegakan hukum ini cukup memberi andil terulangnya kembali kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Lalu faktor ekonomi dalam keluarga juga turut mempengaruhi terjadinya kasus begitu banyaknya faktor, maka sudah selayaknya semua pihak, mulai orang tua, keluarga, pihak sekolah, seluruh komponen masyarakat dan pemerintah untuk menyatukan langkah menyikapi fenomena terus berulang dan meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan Catatan Mengakhiri Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan AnakAda sepuluh catatan yang saya pikir penting sebagai bentuk upaya mengurangi atau menghapuskan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. 1 2 3 4 Lihat Humaniora Selengkapnya
Berikut10 kota yang masih sering dikunjungi walaupun tingginya tinggkat kekerasan seksual. Jakarta masuk nominasi nih gan huft. 1. Delhi, India. Di New Delhi kejahatan terhadap perempuan seperti pelecehan seksual termasuk dipaksa untuk melepas baju, diintip, dan penguntitan mencapai 84.222 kasus. Bilatiba waktunya korban merasa siap untuk speak up dan melapor ke polisi, pihak keluarga dapat meminta pendampingan hukum ke lembaga yang berkompeten di bidangnya, seperti LBH APIK, misalnya. Jika kamu mengalami kekerasan seksual, maka dapat melaporkannya ke: dapat menghubungi nomor: 021-3903963. PertanyaanPermasalahan Pertanyaan untuk membahas permasalahan dalam makalah ini dapat Laporan mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan Aceh 1998-2000. 6 Jenis Kekerasan Jumlah Korban Pelaku Tempat kejadian perkara Penembakan 56 Personil keamanan militia tidak diketahui ruang publik rumah korban kamp pengungsian 5 Muhammad: A Prophet for Our Time by Karen Armstrong. Perbesar. Buku karangan Karen Armstrong ini merupakan must-read biografi mengenai orang Islam yang paling dihormati yakni Nabi Muhammad. Selama karirnya, Armstrong telah menulis beberapa buku tentang Islam dan semuanya layak dibaca.IdentifikasiBentuk dan Dampak Kekerasan Pada Anak Usia Dini di Kota Yogyakarta DOI: 10.31004/obsesi.v4i2.451 758| Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(2), 2020 PENDAHULUAN Usia dini (0-6 tahun) sering dinamakan masa golden age atau usia keemasan dimana struktur otak mirip dengan spon dengan daya serap tinggi terhadap informasi.
Berdasarkanlembar fakta mengenai kekerasan terhadap perempuan di lingkungan pendidikan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan, ada tiga kasus yang diadukan pada 2015, kemudian 10 kasus pada 2016. Selanjutnya tiga kasus pada 2017, lalu 10 kasus pada 2018, selanjutnya 15 kasus pada 2019, dan sampai Agustus 2020 telah diadukan 10 kasus. .